Berbagi Pengetahuan: Islam
Tampilkan postingan dengan label Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Islam. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 Februari 2013

Jika Ustadz Jadi Wasit

Jika ustadz jadi wasit
Jika ustadz jadi wasit, maka sebelum pertandingan, sang ustadz memberikan kultum (kuliah terserah antum, bukan kuliah tujuh menit) di hadapan para pemain dan para suporter kedua kesebelasan.

Wasit : “Saudara, semoga Allah senantiasa menjaga kalian. Izinkan sejenak saya sebagai wasit memberikan sedikit wejangan kepada kalian. Dekatkanlah selalu diri kalian kepada Allah Yang Maha Tinggi. Jagalah lisan kalian dari saling mencela, suporter mencela suporter, suporter mencela pemain, pemain mencela pemain, pemain mencela wasit. Karena siapa yang mampu menjaga lisannya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjamin surga baginya. Subhanallah! Bukankah surga adalah cita-cita kita bersama?”
*Para pemain dan para penonton mengangguk takzim.

Jika ustadz jadi wasit, maka ketika seseorang hendak menyogoknya.

Wasit : “Bertakwalah engkau, wahai hamba Allah! Tidakkah engkau tahu bahwa Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan disuap?!”
Fulan : “Bukankah ini suatu perbuatan tolong menolong?”
Wasit : “Dengarkan! Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya, “Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” [QS. Al-Maidah: 2]

Jika ustadz jadi wasit, maka ketika seorang pemain marah-marah karena gagal mencetak gol.

Wasit : “Janganlah engkau marah karena marah adalah batu berapi yang dilemparkan setan ke dalam hati manusia. Orang yang kuat bukanlah dia yang mampu mengalahkan musuh. Namun orang yang kuat adalah dia yang mampu menahan marah ketika dia bisa melampiaskannya. Jika engkau marah, maka berta’awwudz-lah (mengucapkan: ‘Audzubillahi minasy syaithanir rajiim). Dan jika suatu hal yang tidak engkau sukai menimpamu, maka katakanlah, “Qoddarullahu wama sya-a fa-’al (artinya: Allah sudah mentakdirkan segala sesuatu dan Dia berbuat menurut apa yang Dia kehendaki).”
Pemain : “A’udzubillahi minasy syaithanir rajiim (artinya: Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).Terima kasih, wasit. Sekarang hatiku lebih tenang dan siap untuk mencetak gol!”

Jika ustadz jadi wasit, maka ketika seorang pemain hendak minum.

Wasit : “Sebutlah nama Allah untuk meminta keberkahan kepada-Nya. Minumlah dengan tangan kanan karena setan minum dengan tangan kiri. Janganlah boros, karena orang yang boros adalah saudara setan. Hendaklah kamu minum dalam keadaan duduk dan pujilah Allah atas nikmat yang telah Dia berikan untukmu.”
Pemain : “Bismillah. Gluk... gluk... Alhamdulillah. Thanks, sit. Sekarang dahaga gue udah hilang.Gue akan bermain lebih semangat lagi.”

Jika ustadz jadi wasit, maka ketika dua orang pemain bersitegang dan terlibat adu mulut.

Wasit : “Tenang, tenang. Janganlah berkelahi. Bukankah mukmin itu bersaudara? Sudah selayaknya bagi seorang muslim jika melakukan suatu kesalahan kepada saudaranya untuk meminta maaf. Dan hendaknya seorang muslim memaafkan kesalahan saudaranya.”
Pemain A : “Maafkan saya, kawan. Saya tadi tidak sengaja menyikutmu.”
Pemain B : “Ia, maafkan saya juga. Saya terbawa emosi sehingga saya menghardikmu.”
*Bejabat tangan lalu berpelukan
Wasit : “Indah, bukan? Jika suatu ikatan dilandasi syari’at Islam yang begitu mulia.”
Selengkapnya »»  

Senin, 25 Februari 2013

Berharap yang Terbaik

Berharap yang terbaik kepada Allah
Nabi NUH belum tahu banjir akan datang ketika ia membuat kapal besar & ditertawai kaumnya.

Nabi IBRAHIM belum tahu akan tersedia domba ketika pisau nyaris memenggal buah hatinya.

Nabi MUSA belum tahu laut akan terbelah saat dia diperintah memukulkan tongkatnya.

Yang mereka tahu hanya menjalankan perintah Allah dan berharap yang terbaik.
Selengkapnya »»  

Selasa, 04 Oktober 2011

Lebih Baik Diridhoi daripada Sekedar Diizinkan

Segala hal yang terjadi di muka bumi ini, termasuk yang terjadi dari hasil buah karya manusia (baik itu karya berfikir, karya hati, maupun karya perilaku), tentu dapat terjadi karena Allah SWT mengizinkannya terjadi. Entah hal itu baik atau positif maupun buruk atau negatif. Namun dari semua hal yang diizinkan terjadi itu, belum tentu Allah SWT meridhoinya terjadi. Keridhoan Allah SWT ini berhubungan dengan suka tidak sukanya Allah SWT terhadap apa yang terjadi itu. Sebagai yang Maha Baik tentu hanya hal yang baiklah yang disuka oleh-Nya. Allah SWT tentu akan ridho pada perilaku atau perbuatan baik (amal ma'ruf) manusia. Dan keridhoan-Nya pada perilaku manusia itupun kemudian yang menjadi faktor dirihoi oleh-Nya pula manusia mendapat kebaikan hidup di dunia maupun akhirat. Yupz, tentu yang lebih baik adalah diridhoi daripada sekedar diizinkan bukan?

Saya jabarkan sedikit tentang segala karya manusia : Ketika manusia berpikir (karya fikir), tentu apa yang dipikirkannya itu ada adalah atas izin-Nya. Ketika pikiran itu buruk (prasangka buruk, pemikiran picik, dsb) maka Allah SWT tentu hanya sekedar mengizinkan pikiran itu bebas ada di dalam pikiran manusia, namun Sang Maha Baik itu tentu tidak ridho ada keburukan terjadi, termasuk yang terjadi di pikiran manusia. Begitupun segala hal yang terjadi di dalam hati (karya hati) manusia, Dia izinkan semua pilihan perasaan ada dalam hati manusia, juga diizinkan segala niat, kepercayaan atau iman bernaung di hati manusia, namun belum tentu dirihoi-Nya. Dan ketidakridhoan-Nya tentu akan ada saat manusia mencintai nafsu, mencintai hal yang dibenci dan dilarang oleh Allah SWT, atau memiliki niat yang tidak baik, atau beriman pada yang selain dari Allah SWT, dll. Segala perbuatan (karya perilaku) manusia pun akan terjadi dan bisa terlakukan karena izin-Nya, namun tidak semua mendapat ridho-Nya. Dan dari semua hal di atas pun tentu tetap yang lebih baik adalah diridhoi daripada sekedar diizinkan bukan?

Selain apa yang terjadi dari karya manusia, segala yang ada di muka bumi ini pun ada karena izin-Nya. Seperti manusia dalam kehidupannya di dunia yang diizinkan oleh Allah SWT mendapatkan banyak hal. Hal yang didapatkan manusia itu ada yang baik dan ada juga yang buruk. Yang manusia dapat itu bisa rizqi (baik rizqi harta, ilmu, kesehatan, dll), bisa juga segala hal yang indah, bagus, nyaman, atau masalah, kesedihan, musibah, kehilangan (baik harta, nyawa orang terkasih, ketenangan hidup, hak asasi, dll). Dan penilaian baik atau buruknya tentu tidak bisa sekedar dipandang dari kaca mata manusia, karena yang baik menurut manusia belum tentu baik bagi Allah SWT, begitupun yang buruk dan sebaliknya. Namun yang pasti semuanya itu dapat ada dan sampai pada manusia atas izin-Nya, dan belum tentu diridhoi-Nya. 

Misalnya ketika manusia diberikan musibah, tentu itu adalah sebuah keburukan menurut manusia. Dan Allah mengizinkan terjadi sebuah musibah bukan Dia ridho hamba-Nya menderita dalam musibah, tetapi mungkin ada nilai hikmah yang baik dari musibah itu untuk manusia, karena kemahakasih-Nya yang tiada mungkin menganiaya hamba-Nya. Dan kemudian ketika manusia itu tetap dalam ketaqwaan dan keimanan ketika mendapat musibah, keridhoan Illahi untuk menggantikan yang lebih baik kemudian adalah yang paling baik bukan. 

Begitupun ketika manusia mendapatkan rizqi (apapun bentuknya, misalnya harta atau rizqi pujian, atau rizqi mendapatkan kedudukan yang baik di masyarakat, atau dianggap baik perilakunya oleh masyarakat, dll). Allah SWT tentu mengizinkan terjadi, namun belum tentu merihoinya terjadi, apalagi jika di dalam rizqi itu ada hal buruk, yang ternyata tidak baik tapi dianggap baik karena berbagai alasan manusia, atau yang melanggar hukum, melanggar ketentuan Allah, menganggu hak asasi manusia, dsb. Dan keburukan bagi Allah SWT yang diizinkan-Nya terjadi tentu hanya akan membuat manusia pada akhirnya mendapatkan keburukan yang setimpal dengan yang diperbuatnya, walau menurut manusia sebelumnya ia mendapat kebaikan yang ternyata buruk di akhirnya. Maka kerihoan Allah SWT pun begitu penting bagi manusia, terutama keridhoan-Nya agar manusia mendapatkan hal yang benar-benar baik di mata-Nya, di dunia dan akhirat. Sekali lagi dapat dikatakan bahwa yang lebih baik adalah diridhoi daripada sekedar diizinkan bukan?

Keridhoan Allah SWT tentu pada kebaikan, untuk kebaikan, dan hanya kebaikan. Manusia hanya perlu cermin diri untuk meraba ridho-Nya, yang tentunya cermin itu harus disandingkan dengan segala kebaikan ajaran agama, kebaikan akhlak, keimanan dan ketaqwaan pada-Nya.
Selengkapnya »»  

Senin, 19 September 2011

Asma' binti Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.huma.


Ibunya bernama Qutayrah binti Abu Uzza dari Bani Amir bin Lu’ai. Dia adalah saudara kandung Abdullah bin Abu Bakar ra. Asma’ telah dilahirkan 27 tahun sebelum Hijriyah. Usianya lanjut, sehingga dia wafat pada tahun ke-73 sesudah Hijriyah. Berarti usianya genap satu abad.
Dari masa jahiliyah hingga ke masa pemerintahan Bani Umayyah. Semenjak permulaan Islam, Asma’ telah banyak membantu perjuangan Nabi SAW beserta ayahnya. Ketika Rasulullah SAW dan Abu Bakar ra. dikejar-kejar oleh kafir-kafir Quraisy, keduanya bersembunyi di gua Tsur, maka setiap petangnya, Asma’ binti Abu Bakar seorang diri telah datang ke tempat persembunyian itu untuk membawa makanan dan minuman untuk Nabi SAW serta ayahnya. Pada malam ketiga, Asma’ juga telah datang ke tempat persembunyian Rasulullah SAW dengan membawa seorang penunjuk jalan, yaitu Abdullah bin Uraiqith. Kemudian Nabi SAW bersama sahabatnya meninggalkan gua itu untuk melanjutkan perjalanan. Sedangkan Asma’ membawakan bungkusan makanan bagi mereka. Dan karena dia tidak menemukan tali untuk mengikat makanan itu pada unta, maka ia membuka tali ikat pinggangnya, lalu disobeknya menjadi dua utas tali. Yang satu dijadikan ikat makanan kepada unta, dan yang lain diikatkan pada pinggangnya. Dan sejak itulah dia telah dikenal dengan panggilan ‘Wanita yang mempunyai dua ikat pinggang’.
Setelah berkhidmat dan membantu perjuangan Nabi SAW ketika berhijrah ke Madinah, Asma’ segera kembali ke rumahnya. Namun, belum sempat Asma’ tiba di rumahnya, beberapa orang kaum Quraisy dengan diketuai oleh Abu jahal, sudah berada di belakangnya. Asma’ ditanya dengan berbagai pertanyaan. Tetapi dia tetap menjawab, ‘Saya tidak tahu.’ Hal itu telah membuat Abu Jahal marah, lalu dia menampar Asma’ dengan tangannya yang kasar itu. Lantaran tamparan itu terlalu kuat, sehingga anting-anting Asma’ tercabut dari telinganya. Rasa sakit dari tamparan Abu jahal itu terus terasa oleh Asma’ sampai beberapa hari, bahkan dia tidak dapat melupakannya seumur hayatnya.
Asma’ telah memeluk Islam bersama-sama orang yang pertama memeluk Islam. Dia adalah orang yang kedelapan belas dalam urutan orang-orang yang mula-mula memeluk Islam. Usia Asma’ delapan tahun lebih tua dari ‘Aisyah ra. Asma’ telah menikah dengan Zubair bin Awwam ra. Dan darinya mempunyai anak: Abdullah, Urwah, Mundzir, Asim, Muhajir, Khadijah, Ummul Hasan dan ‘Aisyah. Suaminya, Zubair telah syahid dalam pertempuran jamal. Asma’ binti Abu Bakar berkata, ‘Ketika aku menikahi Zubair, dia belum mempunyai rumah, juga tidak mempunyai budak. Dia tidak mempunyai apa-apa di muka bumi ini selain kudanya. Akulah yang biasanya menggembalakan kudanya, memberinya makan, dan merawatnya. Selain itu aku juga yang menggiling bibit kurma, menggembalakan unta, memberinya minum, menambal ember, dan membuat roti. Sebenarnya aku tidak begitu pandai membuat roti, maka tetanggaku orang Anshar yang biasanya membuatkan roti untukku. Mereka adalah wanita-wanita yang ramah.’
Asma’ sering menjujung bibit kurma di kepalanya dari hasil tanah milik Zubair yang telah dihadiahkan oleh Rasulullah SAW kepadanya. Tanah itu jauhnya sekitar 2 mil. Suatu hari, Asma’ sedang membawa bji-biji kurma itu di atas kepalanya, di tengah perjalanan ia bertemu dengan Rasulullah SAW dan sekelompok sahabat ra. Lalu Beliau SAW memanggil Asma’, ‘Ayo! lkutlah!’ mengajaknya agar ikut di belakang beliau. Asma’ merasa malu sekati berjalan bersama para laki-laki. Dan ia teringat akan Zubair dan kecemburuannya. Karena Zubair termasuk orang yang paling pencemburu. Dan ketika Rasulullah SAW melihat bahwa Asma’ malu, lalu beliau pergi. Setelah itu, Asma’ menemui Zubair dan menceritakan kejadian tadi, ‘Tadi Rasulullah SAW bertemu denganku ketika aku sedang menjunjung biji kurma di kepalaku. Ada sekelompok sahabat bersama beliau. Beliau merundukkan untanya supaya aku bisa ikut menunggang unta itu bersama beliau, tetapi aku sangat malu dan aku tahu rasa cemburumu.’ Zubair berkata, ‘Demi Allah, memikirkanmu menjunjung biji kurma adalah lebih berat bagiku daripada kamu berkendaraan bersama beliau.’
Pada suatu ketika Asma’ merasa Zubair berlaku keras terhadapnya. Lalu Asma’ menemui ayahnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq dan mengeluhkan tentangnya. Ayahnya berkata, ‘Putriku, sabarlah! Jika seorang wanita mempunyai suami yang sholeh dan dia meninggal, lalu wanita itu tidak menikah setelah itu, mereka akan dipersatukan kembali di surga.’
Asma’ binti Abu Bakar pernah datang menemui Rasulullah SAW dan berkata, ‘Ya Nabi Allah! Tidak ada apa-apa di rumahku kecuali apa yang dibawakan Zubair untukku. Salahkah bila aku menginfakkan sebagian dari yang dibawakannya itu?’ Beliau menjawab, infakkanlah yang kamu bisa. Jangan menimbun harta, atau Allah akan menahannya darimu.’ Kedermawanannya tidak diragukan lagi. Prinsip hidupnya adalah menyedekahkan apa yang ada, tanpa menyimpannya. la sangat meyakini, bahwa dengan memperbanyak sedekah akan menambah rezeki dan menyelesaikan masalah.
Diriwayatkan bahwa Asma’ binti Abu Bakar jika merasa tidak enak badan, maka dia akan membebaskan semua budak miliknya. Jika ia merasa sakit kepala, maka ia akan meletakkan tangannya di kepalanya, seraya berkata, ‘Tubuhku, dan yang diampuni Allah sudah cukup!’ Asma’ pun sering menasehati putra-putri dan ahli keluarganya, ‘Berinfaklah dan bersedekahlah dan jangan menanti agar uangmu berlebih. Jika engkau mengharapkan uangmu berlebih, engkau tidak akan mendapatkannya. Jika engkau bersedekah, engkau tidak akan menderita kerugian.’
Demikian Islam melekat pada dirinya, sehingga kepada ibu kandungnya pun ia sangat berhati-hati, mengingat ibu kandungnya sendiri belum memeluk Islam. Diriwayatkan bahwa Qutayrah binti Abdul Uzza – yaitu istri Abu Bakar yang telah diceraikan pada zaman jahiliyah karena masih kufur – mengunjungi putrinya Asma’ binti Abu Bakar ra.. Ia membawa kurma, mentega cair dan daun mimosa. Tetapi Asma’ menolak tidak mau menerima pemberiannya itu, bahkan Asma’ telah melarang ibunya itu memasuki rumahnya. Kemudian Asma’ menemui Aisyah ra., “Tanyakanlah kepada Rasulullah SAW." Beliau menjawab, “Sebaiknya kamu izinkan ibumu masuk dan menerima pemberiannya.” Kemudian Allah menurunkan wahyu-Nya,
"Allah tidak melarangmu untuk berbuat baik, dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarangmu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama, dan mengusirmu dari negerimu, dan membantu orang lain dari mengusirmu. Dan barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim."
(Al-Mumtahanah: 8-9)
Ketika usianya bertambah tua, Allah telah memberinya ujian, yaitu kedua belah matanya menjadi buta. Dan kezuhudan dan kecintaannya kepada akherat, telah banyak menjauhkan dirinya dari tipu daya duniawi. Pernah pada suatu ketika, putranya yaitu Mundzir bin Zubair telah datang dari lrak. Dan ia mengirimi Asma’ binti Abu Bakar ra. setelan baju yang terbuat dari kain halus yang sangat lembut. Ketika baju itu sampai, Asma’ menyentuh kain itu dengan tangannya, lalu ia berkata, ‘Hussh!  Kembalikan pakaian ini kepadanya!’ Terlihat Asma’ sangat gusar dengan hadiah itu. Melihat hal ini Mundzir berkata, ‘Wahai lbu, (baju) ini tidak tembus pandang!’ Asma’ menjawab, ‘Jika tidak tembus pandang, ia tembus cahaya.’ Kemudian Mundzir memberikan kepada Asma’ sebuah pakaian biasa dan Asma’ menerimanya. Asma’ berkata, ‘Aku akan memakai pakaian seperti ini.’
Pada suatu ketika, pada masa pemerintahan Bani Umayyah, ketika Asma’ telah berusia 100 tahun dan matanya telah menjadi buta, datanglah Abdullah bin Zubair menemui ibunya Asma’. Abdullah berkata, ‘Wahai ibuku! Orang-orang telah mengecewakanku. Aku tidak mempunyai pendukung, kecuali beberapa orang saja.’ Menanggapi kesedihan anaknya ini, Asma’ memberikan nasehat dan dorongan untuk membangkitkan lagi semangat anaknya, ia berkata,
‘Wahai anakku, engkau tentu lebih tahu tentang dirimu sendiri. jika engkau yakin, bahwa engkau di atas kebenaran, dan kepada kebenaran engkau menyeru orang, maka teruskanlah! Sahabat-sahabatmu juga telah terbunuh di atas kebenaran ini. Jangan engkau jadikan batang lehermu dipermainkan oleh anak-anak bani Umayyah.
Tetapi, jika engkau hanya menginginkan dunia semata, maka seburuk-buruk hamba adalah engkau! Engkau telah membinasakan dirimu sendiri, dan engkau telah membinasakan orang-orang yang telah terbunuh bersama-samamu.
Dan jika engkau berada di atas kebenaran, lalu sahabat-sahabatmu menghadapi kesulitan, apakah engkau akan menjadi lemah?! Demi Allah, ini bukanlah sikap orang-orang yang merdeka dan bukan pula sikap ahli agama. Berapa lama engkau akan tinggal di dunia ini? Mati adalah lebih baik!’
Mendengar nasehat dan dorongan dari Asma’ ini, maka Abdullah bin Zubair merasa tenang dan bersemangat. Lalu ia datang kepada Asma’ dan mencium kepalanya, sambil berkata, ‘Demi Allah, inilah pendapatku! Akan tetapi aku ingin mengambil pikiran darimu, dan kini engkau telah menambahkan kepadaku keteguhan hati di atas keteguhan yang telah ada padaku. lngatlah, wahai ibuku! Anggaplah aku ini sudah mati dari hari ini, dan aku harap engkau tidak terlalu sedih jika mendengar beritaku kelak, dan serahkanlah masalah ini kepada Allah!’ Kemudian Abdullah memberikan kata selamat tinggal kepada ibunya.
Dalam riwayat lain disebutkan, pernah Abdullah mengadu kepada ibunya tentang kebimbangan hatinya. Jika ia mati, tentu mayatnya akan dipotong-potong oleh Al-Hajjaj. Maka Asma’ menentramkannya dengan berkata, ‘Apakah orang yang sudah mati, akan merasakan siksa atau aniaya, yang dibuat oleh orang yang hidup? Tentu tidak bukan?!’
Ketika Abdullah telah terbunuh di tangan Al-Hajjaj, Hajjaj telah meletakkan mayatnya tersalib di atas batu. Dan dia bersumpah tidak akan menurunkannya dari atas salib itu, sehingga ibunya sendiri datang memohon kepadanya untuk menurunkan mayat itu. Akan tetapi, Asma’ sangat enggan untuk menundukan kepalanya kepada Al-Hajjaj. Maka mayat itu terus bergantung di situ, sehingga genap setahun lamanya di atas salib. Dan ketika pada suatu hari Asma’ lewat di situ, ia berkata, ‘Apakah masih belum sampai masanya bagi sang pahlawan ini untuk menapakkan kakinya di atas bumi!’ Mendengar ucapannya tersebut, orang-orang bani Umayyah telah menganggap kata-kata Asma’ itu sebagai permintaan belas kasihan kepada anaknya, maka mereka pun menurunkannya dari atas salib.
Al-Hajjaj pernah datang kepada Asma’ dengan penuh keangkuhan dan berkata kepadanya, ‘Apa pendapatmu tentang apa yang telah kulakukan terhadap anakmu?’ Asma’ menjawab dengan tegas, ‘Aku telah membinasakan dunianya, ketika dia telah berhasil membinasakan akhiratmu.’ Sebelumnya Asma’ telah berdoa, ‘Ya Allah! Janganlah Engkau ambil nyawaku sebelum mataku merasa bahagia dengan mayat anakku!’ Dan seminggu setelah mayat Abdullah diturunkan dari salib itu, barulah Asma’ meninggal dunia.
Diriwayatkan bahwa Asma’ binti Abu Bakar ra. juga termasuk golongan wanita-wanita pemberani. Dia selalu menyimpan sebuah belati di bawah bantalnya untuk melawan para pencuri yang merajalela di Madinah. Keberanian Asma’ bukan sekedar itu, bahkan ia berani berkata hak di hadapan seorang penguasa walaupun terasa pahit. la pernah pergi menemui Hajjaj dalam keadaan buta. Dia bertanya, ‘Di mana Hajjaj?’ Mereka menjawab, ‘la tidak di sini.’ Dia berkata, ‘Katakanlah kepadanya bahwa aku mendengar Rasulullah SAW berkata, ‘Ada dua orang laki-laki di Thaif: Yang seorang adalah pendusta dan yang seorang lagi adalah perusak.’ Yang dimaksud perusak adalah Hajjaj itu sendiri. Ketika pesan itu disampaikan kepada Hajjaj, Hajjaj berbalik mengunjungi Asma’ binti Abu Bakar ra. dan berkata kepadanya, ‘Putramu telah menumpang di rumah ini dan Allah telah membuatnya merasakan siksaan yang pedih yang telah dilakukan atasnya.’ Asma’ menjawab, ‘Engkau berdusta. Dia berbakti kepada kedua orang tuanya, berpuasa dan shalat, tetapi demi Allah, Rasulullah SAW memberitahu kami bahwa seorang pendusta akan muncul dari Tsaqif, yang satu lebih buruk dari yang pertama, yaitu ia seorang perusak.’ Asma’ binti Abu Bakar ra. mewasiatkan sebelum wafatnya, ‘Jika aku meninggal dunia, mandikanlah aku dan kafanilah, serta berilah wewangian, tetapi jangan tinggalkan parfum di kain kafanku dan jangan mengikutiku dengan api.’ Asma’ binti Abu Bakar ra. meninggal dunia beberapa malam setelah putranya Abdullah bin Zubair diturunkan dari salib. Abdullah bin Zubair telah terbunuh pada hari Selasa, 17 jumadil-Ula tahun 73 Hijriyah.
Selengkapnya »»  

Selasa, 06 September 2011

Al-Khansa Binti Amru


Al-Khansa terkenal dengan julukan “Ibu para syuhada”. Al-Khansa terlahir pada zaman jahiliyah dan tumbuh besar di tengah suku bangsa Arab yang mulia, yaitu Bani Mudhar. Sehingga banyak sifat mulia yang terdapat dalam diri Al-Khansa. la adalah seorang yang fasih, mulia, murah hati, tenang, pemberani, tegas, tidak kenal pura-pura, suka terus terang. Dan selain keutamaan itu, ia pun pandai bersyair. la terkenal dengan syair-syairnya yang berisi kenangan kepada orang-orang yang dikasihinya yang telah tiada mendahuluinya ke alam baka. Terutama kepada kedua saudara lelakinya, yaitu Mu’awiyah dan Sakhr yang telah meninggal dunia.

Diriwayatkan bahwa ketika Adi bin Hatim dan saudarinya, Safanah binti Hatim datang ke Madinah dan menghadap Rasulullah SAW, maka berkata, “Ya Rasululah, dalam golongan kami ada orang yang paling pandai dalam bersyair dan orang yang paling pemurah hati, dan orang yang paling pandai berkuda.”
Rasulullah SAW bersabda, "Siapakah mereka itu. Sebutkanlah namanya.”
Adi menjawab, “Adapun yang paling pandai bersyair adalah Umru’ul Qais bin Hujr, dan orang yang paling pemurah hati adalah Hatim Ath-Tha’i, ayahku. Dan yang paling pandai berkuda adalah Amru bin Ma’dikariba."
Rasulullah SAW menukas, “Apa yang telah engkau katakan itu salah, wahai Adi. Orang yang paling pandai bersyair adalah Al-Khansa binti Amru, dan orang yang paling murah hati adalah Muhammad Rasulullah, dan orang yang paling pandai berkuda adalah Ali bin Abi Thaiib.”

Jarir ra. pernah ditanya, “Siapakah yang paling pandai bersyair?” Jarir ra. menjawab, “Kalau tidak ada Al-Khansa tentu aku.” Al-Khansa sangat sering bersyair tentang kedua saudaranya, sehingga hal itu pernah ditegur olah Umar bin Khattab ra. Umar ra. pernah bertanya kepada Khansa, “Mengapa matamu bengkak-bengkak?” Al-Khansa menjawab, “Karena aku terlalu banyak menangis atas pejuang-pejuang Mudhar yang terdahulu.” Umar berkata, “Wahai Khansa, mereka semua ahli neraka.” Sahut Khansa, “Justru itulah yang membuat aku lebih kecewa dan sedih lagi. Dahulu aku menangisi Sakhr atas kehidupannya, sekarang aku menangisinya karena ia adalah ahli neraka.”

Al-Khansa menikah dengan Rawahah bin Abdul Aziz As Sulami. Dari pernikahan itu ia mendapatkan empat orang anak lelaki. Dan melalui pembinaan dan pendidikan tangan-tangannya, keempat anak lelakinya ini telah menjadi pahlawan-pahlawan Islam yang terkenal. Dan Khansa sendiri terkenal sebagai ibu dari para syuhada. Hal itu dikarenakan dorongannya terhadap keempat anak lelakinya yang telah gugur syahid di medan Qadisiyah. Sebelum peperangan dimulai, terjadilah perdebatan yang sengit di rumah Al-Khansa. Di antara keempat putranya telah terjadi perebutan kesempatan mengenai siapakah yang akan ikut berperang melawan tentara Persia, dan siapakah yang harus tinggal di rumah bersama ibunda mereka. Keempatnya saling tunjuk-menunjuk kepada yang lainnya untuk tinggal di rumah. Masing-masing ingin turut berjuang melawan musuh fi sabilillah. Rupanya, pertengkaran mereka itu telah terdengar oleh ibunda mereka, Al-Khansa. Maka Al-Khansa telah mengumpulkan keempat anaknya, dan berkata,
“Wahai anak-anakku, sesungguhnya kalian memeluk agama ini tanpa paksaan. Kalian telah berhijrah dengan kehendak sendiri. Demi Allah, yang tiada Tuhan selain Dia. Sesungguhnya kalian ini putra-putra dari seorang lelaki dan dari seorang perempuan yang sama. Tidak pantas bagiku untuk mengkhianati bapakmu, atau membuat malu pamanmu, atau mencoreng arang di kening keluargamu. Jika kalian telah melihat perang, singsingkanlah lengan baju dan berangkatlah, majulah paling depan niscaya kalian akan mendapatkan pahala di akhirat. Negeri keabadian. Wahai anakku, sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu Rasul Allah. lnilah kebenaran sejati, maka untuk itu berperanglah dan demi itu pula bertempurlah sampai mati. Wahai anakku, carilah maut niscaya dianugrahi hidup.”

Pemuda-pemuda itu pun keluar menuju medan perang. Mereka berjuang mati-matian melawan musuh, sehingga banyak musuh yang terbunuh di tangan mereka. Akhirnya nyawa mereka sendirilah yang tercabut dari tubuh-tubuh mereka. Ketika ibunda mereka, Al-Khansa, mendengar kematian anak-anaknya dan kesyahidan semuanya, sedikit pun ia tidak merasa sedih dan kaget. Bahkan ia telah berkata, “Alhamdulillah yang telah memuliakanku dengan syahidnya putra-putraku. Semoga Allah segera memanggilku dan berkenan mempertemukan aku dengan putra-putraku dalam naungan Rahmat-Nya yang kokoh di surga-Nya yang luas.” Al-Khansa meninggal dunia pada masa permulaan kekhalifahan Utsman bin Affan ra., yaitu pada tahun ke-24 Hijriyah.
Selengkapnya »»