Jika ustadz jadi wasit, maka sebelum pertandingan, sang
ustadz memberikan kultum (kuliah terserah antum, bukan kuliah tujuh menit) di
hadapan para pemain dan para suporter kedua kesebelasan.
Wasit : “Saudara, semoga Allah senantiasa menjaga kalian.
Izinkan sejenak saya sebagai wasit memberikan sedikit wejangan kepada kalian.
Dekatkanlah selalu diri kalian kepada Allah Yang Maha Tinggi. Jagalah lisan
kalian dari saling mencela, suporter mencela suporter, suporter mencela pemain,
pemain mencela pemain, pemain mencela wasit. Karena siapa yang mampu menjaga
lisannya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjamin surga
baginya. Subhanallah! Bukankah surga adalah cita-cita kita bersama?”
*Para pemain dan para penonton mengangguk takzim.
Jika ustadz jadi wasit, maka ketika seseorang hendak
menyogoknya.
Wasit : “Bertakwalah engkau, wahai hamba Allah! Tidakkah
engkau tahu bahwa Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan disuap?!”
Fulan : “Bukankah ini suatu perbuatan tolong menolong?”
Wasit : “Dengarkan! Allah Ta’ala telah berfirman yang
artinya, “Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan
tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kamu kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” [QS. Al-Maidah: 2]
Jika ustadz jadi wasit, maka ketika seorang pemain marah-marah
karena gagal mencetak gol.
Wasit : “Janganlah engkau marah karena marah adalah batu
berapi yang dilemparkan setan ke dalam hati manusia. Orang yang kuat bukanlah
dia yang mampu mengalahkan musuh. Namun orang yang kuat adalah dia yang mampu
menahan marah ketika dia bisa melampiaskannya. Jika engkau marah, maka
berta’awwudz-lah (mengucapkan: ‘Audzubillahi minasy syaithanir rajiim). Dan jika
suatu hal yang tidak engkau sukai menimpamu, maka katakanlah, “Qoddarullahu
wama sya-a fa-’al (artinya: Allah sudah mentakdirkan segala sesuatu dan Dia
berbuat menurut apa yang Dia kehendaki).”
Pemain : “A’udzubillahi minasy syaithanir rajiim (artinya:
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).Terima kasih,
wasit. Sekarang hatiku lebih tenang dan siap untuk mencetak gol!”
Jika ustadz jadi wasit, maka ketika seorang pemain hendak
minum.
Wasit : “Sebutlah nama Allah untuk meminta keberkahan
kepada-Nya. Minumlah dengan tangan kanan karena setan minum dengan tangan kiri.
Janganlah boros, karena orang yang boros adalah saudara setan. Hendaklah kamu
minum dalam keadaan duduk dan pujilah Allah atas nikmat yang telah Dia berikan
untukmu.”
Pemain : “Bismillah. Gluk... gluk... Alhamdulillah. Thanks,
sit. Sekarang dahaga gue udah hilang.Gue akan bermain lebih semangat lagi.”
Jika ustadz jadi wasit, maka ketika dua orang pemain bersitegang
dan terlibat adu mulut.
Wasit : “Tenang, tenang. Janganlah berkelahi. Bukankah
mukmin itu bersaudara? Sudah selayaknya bagi seorang muslim jika melakukan
suatu kesalahan kepada saudaranya untuk meminta maaf. Dan hendaknya seorang
muslim memaafkan kesalahan saudaranya.”
Pemain A : “Maafkan saya, kawan. Saya tadi tidak sengaja
menyikutmu.”
Pemain B : “Ia, maafkan saya juga. Saya terbawa emosi
sehingga saya menghardikmu.”
*Bejabat tangan lalu berpelukan
Wasit : “Indah, bukan? Jika suatu ikatan dilandasi syari’at
Islam yang begitu mulia.”